01 Maret 2008

TENTANG KEBIJAKAN ENERGI DI INDONESIA

Petikan Wawancara dengan Kontributor Khusus BBMwatch Media
Prof. Dr. Widjajono Partowidagdo

Disela-sela kesibukannya, pria yang lahir di Magelang 16 September 1951 ini masih menyempatkan hobinya mendaki gunung. Ketika ditemui BBMwatch beberapa waktu lalu di Bandung, beliau dengan semangat bercerita mengenai ”ekspedisi”nya baru-baru ini di salah satu Pegunungan di Himalaya, Nepal.

Pun, ketika beliau diajak berbicara mengenai tingginya harga minyak dunia, beban subsidi BBM yang masih memberatkan, serta berbagai kebijakan terkait pengelolaan energi di Indonesia. BBMwatch melakukan wawancara khusus dengan Prof Widjajono Partowidagdo, berikut petikannya. (Wawancara ini juga ditampilkan dalam BBMwatch Journal)

RESUME WAWANCARA
(1) Tanya : Dalam konteks ekonomi energi apa yang sebenarnya dan sebaiknya menjadi dasar dalam penetapan harga BBM, khususnya bagi sektor rumah tangga?
Jawab : Untuk menjamin pemasokannya harganya harus menutupi biaya yang sudah dikeluarkan ditambah keuntungan yang wajar. Karena biaya BBM terdiri dari biaya minyak mentah ditambah biaya kilang, transportasi dan distribusi maka biayanya dihitung dari komponen-komponen tersebut.

(2) Tanya : Jika kemudian konteks ini kita bawa dalam perspektif kemampuan daya beli masyarakat, bagaimana menjelaskan harga BBM yang wajar?
Jawab : Apabila karena kemampuan daya beli masyarakat dibawah harga ekonomi diatas, maka pemerintah seyogyanya mensubsidi selebihnya. Walaupun demikian seyogyanya subsidi tersebut tidak salah sasaran dan diusahakan menggantikan BBM dengan energi lain yang lebih murah, sehingga subsidinya menjadi lebih rendah. Misalnya untuk memasak menggantikannya dengan LPG, gas kota, briket batubara dan biofuel . Untuk transportasi terutama transportasi umum dengan CNG dan biofuel. Untuk listrik dengan batubara, panas bumi, microhydro, biomass, biogas.

(3) Tanya : Bagaimana sebenarnya menjelaskan kepada publik bahwa harga BBM di Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga minyak di pasaran dunia?
Jawab : Indonesia bukan termasuk penghasil minyak yang besar, bahkan impor minyak dan BBM lebih besar dari ekspornya. Perlu dicatat bahwa cadangan minyak Indonesia hanya 0,5 % cadangan minyak dunia, cadangan gas 1,4 % cadangan gas dunia, cadangan batubara 3,1 % cadangan batubara dunia sedangkan potensi panas bumi Indonesia diperkirakan 40 % potensi panas bumi dunia. Apalagi Indonesia adalah negara miskin karena utangya besar. Untuk negara-negara yang produksinya berlipat-lipat dibandingkan pemakaiannya seperti Arab Saudi, Irak, Iran, Venezuela tidak apa-apa menjual BBM untuk kebutuhan domestik dengan harga murah. Apabila Indonesia melakukan hal yang sama maka Indonesia akan bangkrut . Impor minyak dan BBM diperkirakan akan meningkat dimasa depan, maka mau tidak mau Indonesia harus menjual BBM pada harga keekonomiannya yang merupakan fungsi dari harga minyak mentah ditambah biaya kilang, transportasi dan distribusi serta keuntungan yang wajar.

(4) Tanya : Subsidi terhadap harga BBM masih sangat besar (dalam perhitungan BBMwatch untuk tahun ini diatas 50 Triliun), bagaimana anda memandang ini?
Jawab : Indonesia harus berusaha sesegera mungkin menjadikan program diversifikasi kenyataan, misal dengan meningkatkan penggunaan batubara , panas bumi dan microhydro dan biomass ( limbah dan sampah ) untuk listrik , penggunaan CNG dan biofuel untuk transportasi, LPG, briket batubara , gas kota dan biodiesel untuk memasak . Dengan diversifikasi tersebut subsidinya akan berkurang, apalagi apabila penduduk pedesaan dapat memenuhi sendiri kebutuhan energinya ( misalnya dengan memberikan pinjaman berbunga rendah pada LSM yang mau mengembangkan energi setempat, seperti di Amerika Serikat ) . Diperlukan peningkatan kualitas transportasi publik di kota-kota besar ( busway, monorail ) karena hal ini akan mengurangi pemakaian energi, polusi dan kemacetan.

(5) Tanya : Upaya menaikkan harga BBM masih dianggap sebagai suatu langkah yang tidak populer dan sangat politis. Jika demikian langkah lain apa lagi yang bisa ditempuh?
Jawab :
Perlu dibuat kebijakan-kebijakan supaya program-program di atas menjadi kenyataan, yang justru akan berhasil apabila harga BBM dinaikan mendekati harga pasar, tetapi pada saat yang sama energi yang lebih murah tersedia. Seyogyanya subsidi tidak diberikan dalam bentuk subsidi harga, tetapi diberikan langsung ( pendidikan, kesehatan, perumahan, pelatihan, modal usaha ) . Disamping itu Indonesia perlu meminimalkan korupsi, menertibkan pajak dan meningkatkan kemampuan ekonominya supaya subsidi langsung lebih besar dan daya beli masyarakat meningkat. Insentif untuk energi-energi baru tersebut dapat diberikan misalnya dengan menjual kompor dan tabung 3 kg untuk LPG dengan harga lebih murah, memberikan pinjaman berbunga rendah untuk listrik pedesaan , menetapkan harga keekonomian listrik panas bumi ( yang jauh lebih murah dari harga listrik BBM ) dan mensubsidi selisih harga panas bumi tersebut dengan harga jual listrik PLN. Untuk 1 KWH listrik dibutuhkan 0,28 liter BBM, bila harga BBM Rp. 5000 /liter maka biayanya RP. 1.400,-. Biaya panas bumi adalah $ 0,05 / KWH, bila 1 $ adalah Rp. 9100,- maka biayanya Rp. 445,-. Apabila kita dapat mencapai target tahun 2100 dengan meningkatkan penggunaan panas bumi 1000 MW maka kita dapat menghemat 1000 MW= 1786 x 109 GWH / tahun = 11.786 x 10 / KWH / tahun x ( RP. 1400- RP. 455) = Rp. 11,15 triliyun / tahun.

(6) Tanya : Langkah konversi minyak tanah dengan LPG diyakini sebagai salah satu upaya menekan subsidi BBM-minyak tanah, melalui pembagian kompor dan tabung 3 kg secara gratis. Tanggapan anda?
Jawab : Seyogyanya tidak gratis, tetapi harga murah. Seyogyanya untuk memasak digunakan tidak hanya LPG, tetapi juga briket batubara serta gas pipa untuk kota-kota besar dan biodiesel untuk perdesaan. Perlu disadari bahwa tidak semua gas bisa dijadikan LPG ( hnya C3 dan C4 ). Kalau kita hanya menggantungkan pada LPG maka kemungkinan kita harus mengimpornya. Perlu direalisasikan penggunaan gas dalam pipa untuk dikota-kota besar.

(7) Tanya : Pemanfaatan energi alternatif kelihatan masih sebatas wacana, apa saja kendalanya, bukankah harga BBM sudah relatif ekonomis?
Jawab : Perlu kebijakan-kebijakan pada no. 5 , disamping itu perlu informasi pada masyarakat , dan pemberdayaan masyarakat. Disamping itu hal-hal yang menghambat investasi di Indonesia perlu dibenahi seperti lamanya perijinan, ketidakpastian hukum, KKN, tumpang tindih lahan, pembebasan tanah, desentralisasi yang kebablasan dan lain-lain.

(8) Tanya : Pemanfaatan biofuel (biosolar dan biopremium) juga kelihatan masih sebatas wacana, apa saja kendalanya?
Jawab : Harga minyak kelapa sawit yang tinggi, ketidakpastian harga beli buah jarak, kurangnya informasi mengenai pengolahan jarak dan kompor jarak serta belum disubsidinya kompor jarak. Saat ini pemerintah lebih sibuk dalam pengolahan jarak dalam skala besar dan sepertinya lupa mengembangkan pemakaian jarak di perdesaan supaya penduduknya mandiri dalam memenuhi kebutuhan energi.

(9) Tanya : Salah satu jenis BBM yang hingga kini masih dituding subsidinya sangat besar adalah bensin dan solar sektor transportasi yang dijual melalui SPBU. Upaya apa yang bisa ditempuh agar subsidi bisa ditekan dan lebih tepat sasaran?
Jawab : Hilangkan subsidi bensin dan solar, perbaiki transportasi umum di kota-kota besar ( bis AC, busway dan monorail ) serta gunakan CNG untuk transportasi umum dan mobil-mobil pemerintah serta perbanyak SPBG dan subsidi tabung CNG sehingga harganya murah. Alihkan subsidi harga ke subsidi langsung.

(10) Tanya : Dalam konteks pembangunan ekonomi kerakyatan, bagaimana semestinya negara mengelola energi?
Jawab : Jual BBM dengan harga pasar, subsidi transportasi umum, subsidi energi perdesaan dan penggunaan energi terbarukan serta yang lebih utama subsidi langsung kepada yang membutuhkan ( pendidikan, kesehatan, perumahan, pelatihan dan modal usaha ). Hal ini akan meningkatkan kemandirian, seperti yang dilakukan Cina, India, Bangladesh dan lain-lain.

(11) Tanya : Sektor migas dan energi hingga kini masih memegang kontribusi utama dalam pembangunan nasional. Bagaimana upaya-upaya yang bisa ditempuh agar terjadi peningkatan kemampuan Nasional dari sektor ini?
Jawab : Perlu keberpihakan pemerintah dalam peningkatan kemampuan Nasional. Kontrak migas yang sudah habis seyogyanya dialihkan kepada perusahaan Nasional (BUMN, BUMD, Swasta) atau paling tidak 60 % sahamnya dimiliki pengusaha nasional. Seyogyanya Indonesia tidak mengekspor minyak mentah ( migas paling menguntungkan jika dijadikan bahan petrokimia ), paling tidak untuk bagian pemerintahnya.***


Tentang Prof. Dr. Widjajono Partowidagdo

Riwayat Pendidikan : (S1, S2, S3)
Sarjana Teknik Perminyakan ITB, 1975;
MSc. (Petroleum Engineering), USC (U. of Southern California), Los Angeles, USA, 1980;
MSc. (Operations Research), USC, 1982;
M.A. (Economics), USC, 1986;
Ph.D. (Engineering), USC, 1987, dengan disertasi : An Oil and Gas Supply and Economics Model for Indonesia.

Riwayat Pekerjaan :
· Guru Besar dalam ilmu Ekonomi dan Pengelolaan Lapangan Migas pada Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung (ITB), sejak 2004;
· Ketua Kelompok Keahlian Pemboran, Produksi dan Manajemen Migas, FIKTM, ITB, sejak 2005;
· Pengajar pada Jurusan Teknik Perminyakan ITB (Institut Teknologi Bandung), sejak tahun 1976;
· Pengajar pada Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB (Institut Teknologi Bandung), sejak tahun 1993;
· Pengajar pada Program Pascasarjana Sumber Daya Mineral, ITB sejak tahun 1989;
· Koordinator Penelitian Model Pembangunan yang Berkelanjutan pada Pusat Antar Universitas (PAU) - Ekonomi - Universitas Indonesia (UI) 1989 - 1992;
· Pembantu Dekan Urusan Akademis, Fakultas Teknologi Mineral (FTM), ITB, 1994-1997;
· Ketua Program Pasca Sarjana Studi Pembangunan ITB, 1993 – 2004;

Tidak ada komentar: